
Jakarta -
Anggaran dana desa terus mengguyur sekujur 74.954 desa se Indonesia. Total dana desa semenjak 2015 dan sampai 2019 sudah mencapai Rp 257 triliun. Rinciannya, pada 2015 senilai Rp 20,7 triliun, pada 2016 mencapai Rp 47 triliun, pada 2017 mencapai Rp 60 triliun, pada 2018 mencapai Rp 60 triliun, dan pada 2019 mencapai Rp 70 triliun.
Namun, dana sebesar itu tak semuanya mulus ke turun ke desa; sebagian dihisap para koruptor. Baru-baru ini koran nasional dan lokal mengungkap isu korupsi dana desa. Data yang disorongkan ICW menyebutkan, tercatat sedikitnya sudah ada 181 masalah korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dengan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar.
Menggerus Desa
Kita tak habis pikir, tak sedikit sosialisasi dan kampanye antikorupsi. KPK, Saber Pungli, Satgas Dana Desa, dan abdnegara penegak aturan lain selalu gencar meluncurkan upaya-upaya pencegahan, maupun penindakan yang berakhir lewat operasi tangkap tangan (OTT).
Berbagai demo menuntut pejabat mundur sebab diduga korupsi terjadi di mana-mana. Ribuan buku, artikel, juga opini para akademisi dan pakar berseliweran di toko buku, perpustakaan, dan rak-rak buku bahkan di meja kerja kita sepertinya tak menciptakan si serakah tiarap mencuri uang rakyat desa.
Kalau melihat ke belakang, justru praktik penyimpangan ini dilakukan mereka yang punya stempel terpelajar atau intelek. Mereka tahu dan paham betul aturan mainnya, tapi mungkin mereka juga lebih tahu cara menyelinap dan mengambil dana untuk memuaskan diri dan kelompoknya.
Mengapa koruptor gres selalu lahir meski bahaya eksekusi denda dan penjara mengintai? Barangkali fenomena banyaknya pelaku korupsi mengindikasikan ringkihnya pelaku dana desa dalam pertanggungjawabannya.
Data praktik korupsi dana desa, masih versi ICW, menunjukkan: tahun 2015 (17 kasus), tahun 2016 (41 kasus), tahun 2017 (96 kasus), dan tahun 2018, yakni medio semester I (29 kasus). Kumulatif sampai ketika ini sedikitnya ada 141 orang kepala desa tersangkut masalah korupsi dana desa yang semuanya menyebabkan anggaran desa sebagai objek yang rentan dikorupsi.
Merujuk angka-angka di atas semakin menegaskan masifnya korupsi dana desa. Pertama, nihilnya rasa mempunyai oleh warga atas desa kawasan lahir dan huniannya. Hal ini sebab warga kerap mengalami kekecewaan, tidak puas terhadap kinerja elite desa (kepala desa dan perangkatnya), sehingga elite ini lebih leluasa menilap uang rakyat dengan virus dan vaksin ketidakjujuran yang selalu ramah padanya.
Kedua, gaya hidup aktor-aktor pemerintah desa. Merangseknya dunia hiburan yang menjangkau desa dan infrastruktur yang memudahkan saluran ke kota secara eksklusif atau tidak juga menyokong praktik korupsi dana desa. Selain gaya "borjuis" dan "amtenar" para perangkat desa, mereka acap melaksanakan malpraktek dengan menciptakan dobel anggaran pada satu titik proyek. Misal sudah dibiayai APBN, tapi juga di-cover (fiktif) melalui APBD.
Ketiga, politik etis alias balas kecerdikan para kepala desa pada konstituen kelompok warga yang ikut menentukan pemenangan pilkades. Keempat, kuatnya mentalitas pencuri di otak kepala desa maupun perangkatnya yang menyebabkan harta benda sebagai berhala baru.
Melukai Harapan
Banyaknya praktik korupsi dana desa terperinci melukai dan mengerdilkan impian warga desa. Kepala desa dan perangkatnya yang seharusnya menjadi teladan hidup dengan segenap peradabannya justru menjelma mesin pembunuh masa depan desa. Hal ini memicu ketidakpercayaan warga yang berdampak pada absennya partisipasi rakyat, sehingga menciptakan warga lebih menentukan bergeming untuk urusan desa, pemerintahan desa, dan lain-lain. Jika dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin desa akan mengalami stagnasi bahkan involusi.
Arogansi kepala desa sanggup kita lihat kala didemo warga sebab ditengarai korupsi, malah menyewa para tukang pukul atau preman untuk pasang tubuh menghadapi warga yang dianggap sebagai penghalang dalam memuluskan agresi korupnya. Jalan demokrasi, musyawarah, dan data yang bicara tak terjadi di sana. Padahal UU Desa menegaskan, kepala desa wajib melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Karena jumlah kepala desa yang terlibat korupsi tidak sedikit, salah satu cara untuk menyelamatkan dana desa dan menjamin keberlanjutan pembangunan desa, para elite desa ini penting menjadi juru saksi untuk membongkar masalah korupsi yang menjangkit desanya. Selain itu insentif bagi kepala desa dan perangkatnya menjadi jalan untuk mengurangi praktik korupsi dana desa. Penyetaraan penghasilan perangkat desa selevel dengan ASN tahun ini merupakan potongan langkah penanggulangan korupsi dana desa.
Tidak ada salahnya kita mendorong warga seharusnya terus memposisikan diri sebagai watchdog --mata pendengaran pemerintah bersama BPD, pendamping desa, aparatur hukum, bahkan media melalui pemberitaan dan konten-konten edukasinya. Untuk itu, akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana desa wajib dilaporkan ke warga lewat media konvensional dan virtual. Langkah ini setidaknya juga menghambat dan menciptakan gemetar para koruptor.
Transformasi sosiokultur warga desa menjadi layak diteguhkan, sehingga bisa mengubah mentalitas katak, derajat kodok (suka menciptakan hidup warga susah sebab kerap mencuri camilan manis rakyat) menuju derajat integritas (satu utuhnya pikiran, ucapan, dan perbuatan). Membantu bahkan menutup pos dana yang masih minim bahkan nihil. Juga penting untuk menyekolahkan kepala desa dan perangkatnya ke KPK.
Dalam kekerabatan ini mewirausahakan desa begitu relevan digelorakan untuk menghentikan gulma dan benalu koruptor desa. Apalagi desa punya sumberdaya alam yang melimpah, produk unggulan, serta banyak perjuangan rintisan lewat bermacam-macam UMKM, harapannya bisa bertumbuh menjadi unicorn sekelas Gojek, Bukalapak, Tokopedia, atau Traveloka.
Berdasarkan uraian singkat di atas tak berlebihan dalam irit kami sebut bahwa hari ini desa yang acap beroleh label atau stigma sederhana, sahaja, polos, lugu, dan jujur telah mengalami darurat korupsi anggaran desa. Meskipun di kuping mengusik gendang, tapi begitulah fakta, bukan fiksi.
Saat orang miskin didaftar pemerintah saja, tingkat korupsinya begitu masif, belum lagi ketika satu ketika nanti orang miskin yang mendaftar ke pemerintah. Last but not least, mari tolong-menolong dan keroyokan memelototi praktik pemanfaatan anggaran desa dengan bangga dan turun tangan menghalau para koruptor anggaran desa. Save desa!
Marjono eksponen Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W) Desa Miskin Indonesia