Mereken Rupiah di Negeri SendiriIlustrasi: Nadia Permatasari/Tim Infografis

Jakarta -

Indonesia sedang ribut dengan kondisi melemahnya rupiah terhadap dolar AS. Kurs terakhir yang terpantau per 14 September 2018 yaitu Rp 14.807 per 1 dolar AS, sedikit menguat dibandingkan sehari sebelumnya yaitu Rp 14.840. Beberapa bank atas imbauan Bank Indonesia (BI) telah melaksanakan stress test untuk memantau kekuatan industri debitur mereka atas gejolak rupiah tersebut. Industri yang masih bergantung terhadap materi baku impor ibarat farmasi, otomotif, baja, tekstil akan sangat terpengaruh alasannya yaitu harus membeli materi baku dengan harga mahal. Biaya produksi meningkat yang menguras habis margin keuntungan pada kesudahannya mensugesti kemampuan debitur membayar kembali kemudahan kredit.

Sementara di sisi lain, pemilik perusahaan terpaksa harus meningkatkan harga barang biar margin keuntungan tak tergerus semakin dalam. Harga naik menjadikan peredaran uang atau inflasi semakin tinggi, alasannya yaitu rakyat dituntut untuk mengeluarkan uang lebih besar untuk jumlah barang yang sama. Inflasi tinggi menjadikan BI meningkatkan suku bunga untuk menarik dan mengendalikan uang beredar. Suku bunga tinggi akan kembali memukul industri alasannya yaitu harus membayar bunga kredit yang tinggi --semacam bundar setan yang tak ada habis-habisnya.

Penyebab Krisis

Bila Anda menyalahkan Amerika Serikat (atau Trump?) sebagai penyebab melemahnya rupiah dengan banyak sekali aksinya akhir-akhir ini untuk lebih soliter dalam perekonomian, mungkin Anda benar. Peningkatan suku bunga oleh The Fed (Federal Reserves, Bank Sentral Amerika) yang ketika ini 2%, akan berlanjut hingga dengan 2020 dengan kenaikan 50 bps atau 0,5% tiap tahunnya, menyiratkan kepercayaan diri AS untuk menarik kembali investor menanam uangnya di pasar modal Amerika. Kepercayaan diri yang lungsur alasannya yaitu kasus subprime mortgage pada 2008 dan memicu krisis keuangan AS memaksa The Fed merilis kebijakan Quantitative Easing dengan membeli sekuritas atau surat berharga dari bank biar sanggup menyuntikkan likuiditas ke pasar. Suku bunga 0,25% atau nyaris nol ketika itu diharapkan sanggup mempermudah industri untuk menggerakkan usahanya dengan meminjam kredit bank dan menambah peredaran uang.

Berangsur dengan menguatnya perekonomian, AS kembali menaikkan suku bunganya. Hal ini yang menjadikan kekacauan di banyak negara, alasannya yaitu investor absurd melarikan dananya ke AS untuk mendapat imbalan yang lebih besar. Perekonomian Turki yang hampir 90% bergantung pada modal absurd mulai terkena dampaknya. Lira jatuh hingga dengan 40%. Walau ada juga penyebabnya dari unsur politis, tapi ketergantungan terhadap modal absurd yaitu unsur besar kejatuhan perekonomian.

AS juga terus menyalahkan tarif-tarif murah hasil kolaborasi ekonomi yang menjadikan negaranya kebanjiran produk murah dari negara lain, sementara barang AS dijual dengan harga lebih mahal di negara lain. Perang dagang Amerika-China yang saling berbalas meningkatkan tarif masuk barang impor menjadikan rupiah semakin terdepresiasi. Tak heran AS meradang alasannya yaitu defisit neraca perdagangan terhadap China mencapai 375,2 miliar dolar pada 2017 lalu. Hal yang hampir sama juga terjadi dengan Argentina, Venezuela, dan negara-negara berkembang lainnya.

Tetapi, Anda juga tak sepenuhnya bisa menyalahkan imbas eksternal. Ada satu benang merah dalam perekonomian negara -negara berkembang tadi sebagai faktor internal perekonomian domestik yang mensugesti krisis. Benang merah itu berupa defisit transaksi berjalan. Argentina defisit 4,8% dari GDP, India 1,9%, Brasil 0,48%, Filipina 0,8%, Turki 5,5%, dan Afrika Selatan 2,5%. Indonesia sendiri defisit 1,7% dari GDP pada 2017.

Lalu, apa korelasi defisit transaksi berjalan dengan pelemahan kurs?

Defisit Transaksi Berjalan

Menurut BI, transaksi berjalan yaitu transaksi yang meliputi ekspor dan impor barang, jasa, pendapatan primer serta pendapatan sekunder. Transaksi berjalan menjelaskan neraca barang, jasa, dan pendapatan dari modal yang ditanam di negara lain. Neraca transaksi berjalan menawarkan sumber dan penggunaan pendapatan nasional ekspor barang dan jasa, pendapatan dari investasi luar negeri yang menjadi pendapatan nasional.

Dengan kata lain, transaksi berjalan yaitu kemampuan negara untuk menghasilkan dolar AS. Bisa dengan meningkatkan ekspor yang menghasilkan valas, atau mengurangi impor yang berarti mengurangi kebutuhan terhadap dolar AS. Bila dolar AS yang dihasilkan lebih tinggi daripada kebutuhan, maka terjadi surplus, dan kalau sebaliknya berarti defisit transaksi berjalan.

Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan semenjak Triwulan IV-2011 yang berlanjut hingga ketika ini tahun 2018. Hal ini menawarkan impor barang Indonesia lebih tinggi daripada ekspor. Defisit transaksi berjalan di Triwulan II-2018 yaitu 8,028 miliar dolar AS atau 3,04% PDB, meningkat dari Triwulan I-2018 yang sebesar 5,717 miliar dolar AS atau 2,21% PDB. Untuk mengatasi hal ini pemerintah terus berencana untuk mengurangi kebutuhan impor dengan melaksanakan subtitusi barang impor.

Contoh paling baru yaitu kebijakan B20 yaitu penggunaan minyak kelapa sawit sebagai pengganti solar sebesar 20%. Lumayan, sanggup mengurangi solar impor dan mengurangi defisit sebesar 2,5 miliar dolar AS. Kebijakan ini pengembangan dari B15 pada 2015, dan mulai diberlakukan pada 2016, tetapi tersendat-sendat. Mulai 1 September 2018, kebijakan ini mulai diterapkan untuk kendaraan umum (PSO) maupun pribadi (non PSO).

Sebenarnya transaksi berjalan sanggup dibantu oleh transaksi finansial. Transaksi finansial yaitu transaksi dalam rangka investasi langsung, portofolio, atau instrumen derivatif keuangan. Nah, kalau anutan dana dari investasi pribadi terlalu kecil alasannya yaitu investor absurd menganggap prospek investasi di Indonesia tidak menarik atau alasannya yaitu suku bunga di negara lain lebih tinggi, maka transaksi finansial tidak sanggup membantu transaksi berjalan. Dengan situasi eksternal yang berubah cepat ketika ini, transaksi finansial bahkan sanggup memperburuk kondisi defisit transaksi berjalan. Itulah mengapa nilai dolar AS yang menguat terhadap rupiah memperparah defisit transaksi berjalan kita.

Pemerintah ketika ini masih berusaha di kepingan mengurangi impor daripada meningkatkan ekspor. Bisa dimaklumi, banyak yang harus dibenahi dari kebijakan ekspor, sedangkan impor cukuplah kita mengecangkan ikat pinggang. Menyusul daftar ratusan produk impor yang dicekal, terdapat kebijakan untuk mengurangi impor minyak mentah. Caranya, kontraktor yang mendapat kepingan minyak dan mengekspor ke negara lain harus menjual ke pemerintah Indonesia. Tambahan stok minyak 217.000 barel, dan mengurangi defisit 2 miliar dolar AS.

Lalu, apabila kita ulet sekali menghasilkan valas greenback, bagaimana dengan rupiah?

Uang Elektronik dan Konsumerisme

Rupiah masih terus melemah. Pengusaha pun enggan menukarkan valas hasil ekspor ke rupiah, alasannya yaitu masih butuh untuk beli materi baku (yang sebagian besar impor) atau keperluan lainnya (seperti membayar bunga kredit valas).

Rupiah ada dalam jumlah besar di masyarakat, ditunjukkan dengan inflasi berkisar 3% hingga dengan 5% pada 5 tahun terakhir. Secara fisik bahu-membahu rupiah sudah agak jarang ditemui, alasannya yaitu metode pembayaran non tunai menjadi tren. Lihat saja seluruh pembayaran terusan jalan tol, kereta komuter, bis Trans Jakarta, seluruhnya menggunakan uang elektronik atau e-money ibarat Tap Cash BNI, E Money Bank Mandiri, atau Kartu Flazz BCA. Bahkan, tidak hanya perbankan yang merilis alat pembayaran elektronik. Telkomsel, perusahaan telekomunikasi merilis T-cash, suatu alat pembayaran dengan telepon genggam dan stiker sebagai alat deteksi mesin EDC. Selain itu ada Go-Pay, metode pembayaran dari Gojek, yang semula hanya untuk pembayaran transportasi berkembang untuk pembayaran segala macam merchant.

Metode pembayaran uang elektronik mensugesti inflasi secara tidak langsung. Kemudahan 'mengeluarkan' uang oleh konsumen meningkatkan kegiatan konsumerisme, dan peredaran uang di masyarakat yang akan memicu inflasi, dan mensugesti kestabilan sistem keuangan. Inflasi akan memperberat defisit transaksi berjalan alasannya yaitu BI akan meningkatkan suku bunga dalam rangka menurunkan jumlah uang yang beredar di masyarakat. Suku bunga tinggi menjadikan eksportir sulit membayar utangnya kepada bank, dan memperberat usahanya yang menghasilkan dolar AS. Secara pribadi transaksi uang elektronik tidak akan mensugesti suku bunga. Tetapi, hingga pada batas besar transaksi memicu inflasi, BI akan berinisiatif menurunkan inflasi dengan kebijakan meningkatkan suku bunga.

Di sini diharapkan kontrol pemerintah dan BI untuk transaksi non tunai uang elektronik. Kemajuan teknologi, dan alasan keamanan maupun kepraktisan cukup menjadi alasan dengan 'membawa' uang dalam bentuk elektronik. Tidak ada lagi kertas warna merah, biru, atau hijau di dompet. Yang ada yaitu kartu plastik metalik atau dove warna-warni berupa kartu kredit atau kartu debit. Tidak ada yang salah dengan metode pembayaran non tunai ini. Penggunaan secara sempurna mempermudah kegiatan konsumsi dan meringankan arus kas.

Hanya saja dampak yang timbul tidak seringan yang kita pikirkan. Bayangkan kalau transaksi uang elektronik terjadi secara masif di seluruh penjuru negeri. Ancaman inflasi dan suku bunga tinggi akan mengganggu kestabilan sistem keuangan kita. Sementara pemerintah masih berusaha keras menekan defisit transaksi berjalan, tidak ada salahnya kita sedikit menekan kegiatan konsumerisme dengan mengurangi penggunaan uang elektronik yang tidak vital. Untuk pembayaran tol tentu tidak sanggup dihilangkan, tetapi belanja alasannya yaitu promo di toko tertentu dengan uang elektronik sanggup dihilangkan.

Secara psikologis, kita akan sadar berbelanja kalau memegang uang secara nyata. Akibatnya kita akan membelanjakan uang sesuai keperluan, sebanyak yang dipunyai di dompet. Dampak positif lain kita akan semakin cinta rupiah alasannya yaitu melihatnya setiap hari, dan berhati-hati dalam menggunakannya. Apalagi untuk para pemegang dolar AS ketika ini yang mau menukarkannya dengan rupiah untuk membantu devisa negara yang semakin menipis akhir gejolak nilai tukar.

Semoga kita akan kembali sadar bahwa rupiah yaitu mata uang kita walaupun kita bertransaksi dengannya ketika belanja daring, mengisi kartu elektronik, transfer ke anak-istri. Sadar ketika mengambil uang dari ATM untuk belanja bulanan, dan menggunakannya benar-benar untuk belanja. Bukan membiarkannya tak tersentuh alasannya yaitu ternyata malah menggunakan uang elektronik atau kartu kredit untuk membayar belanjaan. Semoga perkataan ayah saya, yang kaget ketika harus menggunakan uang elektronik di jalan tol, tak benar. Bahwa rupiah ibarat sudah tak 'direken' (diperhitungkan) di negerinya sendiri.

Nini Avieni pemerhati ekonomi moneter


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com
Lebih baru Lebih lama